Pasal Keenam : SILATURRAHIM
Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembicaraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya bahas melalui empat poin berikut:
A. Makna silaturrahim.
B. Dalil syar”i bahwa silaturrahim termasuk di antara pintu-pintu rizki.
C. Apa saja sarana untuk silaturrahim?
D. Tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat.
Makna “ar-rahim” adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ar-rahim” secara umum adalah dimak-sudkan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak.”
Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.
Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat –baik menurut garis keturunan maupun perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.
B. Dalil Syar”i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki
Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapang-an rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
1. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim”.
2. Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim.”
Dalam hadits yang mulia di atas, Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.
Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad . Maka barangsiapa me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan “Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim.” Artinya, dengan sebab silaturrahim.
Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan: “Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Ba-nyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyam-bung Silaturrahim.
3. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:
“Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia.”
Dalam hadits yang mulia Ini Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.
4. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi , beliau bersabda:
“Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim.”
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.
5. Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ia berkata:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya.”
6. Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah .
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
“Sesungguhnya keta”atan yang paling disegerakan paha-lanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluar-ga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan).”
C. APA SAJA SARANA UNTUK SILATURRAHIM?
Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.
Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do”a.”
Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaik-an, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).
D. Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat
Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silatur-rahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu maje-lis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta bersi-kap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.
Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bah-kan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).
Demikian pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma” binti Abu Bakar c yang menanyakan Rasullah untuk bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits ini diantaranya disebutkan:
“Aku bertanya, “Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap, apakah aku harus menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Ya, sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu”.”
Tetapi, itu bukan berarti harus saling mencintai dan me-nyayangi, duduk-duduk satu majelis dengan mereka. Bersa-ma-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut de-ngan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah ber-firman:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau pun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22).
Makna ayat yang mulia ini –sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi– adalah bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan mencintai musuh orang tersebut.
Dan berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok Qadariyah dan tidak duduk satu majelis dengan mereka.
Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik:
“Saya berkata, “Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka memusuhi”.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata: “Artinya, mereka tidak saling men-cintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan Rasul-Nya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat.”
Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut ada-lah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut –dalam kondisi demi-kian– dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah berkata:
“Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih terus membandel. Kemudian, hal itu (pe-mutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih tetap berkewajiban mendo”akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.